PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Penanaman modal asing merupakan
suatu tindakan dari orang asing atau badan hukum asing untuk melakukan
investasi modal dengan motif untuk berbisnis dalam bentuk apapun kewiayah suatu
negara lain. Di indonesia, tentang penanaman modal asing ini makalah adedidikirawanpada prinsipnya
diatur dalam perundang-unndangan tentang penanaman modal asing.[1]
Perkembangan investasi
dilingkungan bisnis suatu perusahaan selalu ada keuntungan dan kerugian
keuntungan dapat berupa laba penambahan nilai investasi maka kerugian
mengakibatkan kepailitan atau sengketa persuhaan kemungkinan timbulnya
sengketa suatu hal yang sulit untuk dihindari.oleh karena itu dalam peta bisnis
modern dewasa ini para pelaku bisnis makalah adedidikirawansudah mulai mengantisipasi atau paling
tidak mencoba meminimalisasi terjadinya sengketa. Langkah yang di tempuh adalah
dengan melibatkan para penasihat hukum dalam membuat dan ataupun menganalisis
kontrak yang akan ditandatangani oleh pelaku usaha.yang menjadi soal adalah,
bagaimana halnya kalau pada awal dibentuknya kontrak,para pihak hanya
mengandalkan saling percaya kemudian timbul sengketa, bagaimana cara
penyelsaian sengketa yang tengah di hadapi pebisnis.[2]
Secara konvensional atau
tepatnya kebiasaan yang berlaku dalam beberapa dekade yang lampau jika ada
sengketa bisnis, pada umumnya para pebisnis tersebut membawa kasusnya ke lembaga
peradilan. Penyelsaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan biasanya
membutuhkan waktu yang cukup lama berbeda dengan penyelsaian sengketa dengan
alternatif.
IDENTIFIKASI MASALAH
Adapun
identifikasi masalah yang akan disajikan penulis dalam karya tulis ini adalah
sebagai berikut :
1.bagaimana persyaratan untuk
mengajukan penyelsaian sengketa melalui jalur alternatif?
2. bagaimana prosedur penyelsaian
sengketa alternatif yang harus di tempuh para pihak di dalam penanaman
modal asing?
PEMBAHASAN
LATAR BELAKANG TIMBULNYA SENGKETA
Investor yang hendak menanamkan
modalnya diluar negeri, maka langkah awal yang dilakukan calon investor adalah
mengadakan studi pendahuluan. Apakah ada kepastian hukum jika ia menanamkan
modalnya di negara tersebut. Kepastian hukum yang dimaksud disini, tidak
semata-mata adanya peraturan perundang –undangan yang berkaitan dengan
investasi, akan tetapi lebih luas dari itu yakni bagaimana pelaksanaannya,
termasuk di antaranya kesiapan hakim dalam menyelsaikan sengketa investasi yang
cukup kompleks.
Sebagaimana dikemukakan oleh salah
seorang peserta infrastructure summit di jakarta pada pertengahan
bulan Januari 2005 yang lalu, bahwa ia cukup menghargai adanya upaya pemerintah
indonesia untuk memperbaiki iklim investasi, dengan cara menerbitkan
peraturan perundang-undangan yang pro kepada investor.bahkan salah seorang dari
investor amerika serikat mengatakan, adanya upaya pemerintah indonesia untuk
menerbitkan beberapa peraturan perundang-undangan yang akan menjammin kepastian
hukum bagi para investor, hanya saja, dia mempertanyakan kualitas para
hakim di Indonesia dalam memutus perkara, termasuk perkara yang berkaitan
dengan investasi.[3]
Tampaknya apa yang dirasakan oleh calon investor asing tersebut juga
diakui oleh disadarai sepenuhnya oleh pemerintah. Lewat menteri
koordinator perekonomian, dikemukakan masih banyak aparat pemerintah yang
justru menghambat proses masuknya investasi asing di indonesia dengan
memberikan penjelasan yang berbeda dengan peraturan yang sudah ada. Menurut
aburizal, negara-negara dan lembaga internasional makalah adedidikirawanmengharapkan agar pemerintah
juga mengeluarkan suatu standar mengenai implementasi dari peraturan dan
perundangan investasi yang sudah ada sehingga tidak menimbulkan kesulitan
kepada para calon investor .[4]
jadi dalam hal ini, para pihak yang terkait dengan investasi harus seirama dlam
memberikan informasi, sehingga tidak membingungkan para calon investor.
Adanya kegalauan dari calon investor
tersebut dapat dimaklumi, karena investor dalam menanamkan modalnya selain
mengharapkan ada hasil atau keuntungan dalam menjalankan bisnisnya, juga
berharap modal yang ditanamkan tetap aman, dalam arti ada perlindungan hukum (legal
protection) dengan kata lain, bila investor mengalami kerugian dalam
menjalankan perusahaannya, karena salah urus (mismanagement) bagi investor
tentunya hal ini merupakan risiko bisnis yang harus di tanggung.
Untuk itu, tidaklah mengherankan
jika calon investor sebelum memutuskan menanamkan modalnya, terlebih dahulu ia
melakukan studi kelayakan (feasibility study) tentang prospek bisnis yang
akan ia jalankan.[5]
Termasuk yang diteliti disini adalah ketentuan peraturan perundang-undangan
yang ada kaitannya dengan investasi yang akan ia jalankan
Menjadi masalah bagi investor adalah
jika kerugian yang dialami bukan karena salah mengelola perusahaan, akan tetapi
karena tidak ada perlindungan hukum, baik terhadap modal yang ia tanamkan
maupun terhadap barang yang akan diproduksi.[6]
Termasuk yang diteliti disini adalah ketentuan peraturan perundang-undangan
yang ada kaitannya dengan investasi yang akan dijalankan.
Menjadi masalah bagi investor adalah
jika kerugian yang dialami bukan karena salah mengelola perusahaan, akan tetapi
karena tidak ada perlindungan hukum, baik terhadap modal yang ia tanamkan
maupun terhadap barang yang akan diproduksi. [7]
sebagaimana diketahui, modal yang dibawa oleh investor asing pada umumnya,
adalah berupa intangible asset, atau sering juga dikenal dengan hak
kekayaan intelektual (intellectual property right) seperti patent
trademark, trade sceret, copy right, industrial design .
semua hak kekayaan intelektual ini, dinegara asal investor makalah adedidikirawandan bahkan mungkin
di tempat lain telah mendapatkan perlindungan hukum artinya hak kekayaan
intelektual yang dimiliki oleh investor telah didaftarkan dikantor-kantor
hak kekayaan intelektual di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia secara
normatif telah mempunyai serangkaian peraturan perundang-undangan dalam bidang
hak kekayaan intelektual yang cukup memadai. Artinya ketentuan hak kekayaan
intelektual di indonesia telah disesuaikan dengan ketentuan TRIPs. Menjadi
pertanyaan adalah pelaksanaannya dari ketentuan perundang-undangan Hak Kekayaan
Intelektual. Sebagaimana yang dikemukakan oleh pakar hukum hak kekayaan
intelektual, Gunawan Suryomurcito, berikut ini:
Memang benar bahwa indonesia sudah
memiliki payung hukum untuk melindungi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).
Namun, pelanggaran terhadap HaKI merupakan kasus yang sudah rutin mengisi kolom
berita di berbagai media. Salah satu kasus yang menggeparkan muncul beberapa
tahun yang lalu antara perusahaan produsen makanan AS Nabisco Inc (Nabisco),
dengan produsen lokal PT Perusahaan dagang dan industri Ceres (Ceres).
Pasalnya, Ceres, memproduksi dan memasarkan biskuit dengan merek Ritz, yang
dikalim merupakan merek yang sudah dikenal luas di AS dan beberapa negara
sebagai milik Nabisco sejak tahun 1941. Padahal setiap investasi dalam
proyek-proyek baru kemungkinan melibatkan teknologi baru dan yang sudah
dipatenkan dinegara asal investor. Sehingga, para investor cenderung
berhati-hati sebelum adanya tiindakan nyata dari pemerintah untuk menanggapi
masalah pelanggaran HaKi. Kepastian hukum merupakan salah satu alasan
keenggananmakalah adedidikirawan para investor untuk melakukan investasi di Indonesia selain
infrastruktur yang kurang baik dan hukum perburuhan yang tidak mendukung. Tidak
jarang investor membatalkan niatnya berinvestasi disini justru karena lemahnya
penegakan hukum.[8]
Jadi dallam konteks ini, tataran
implementasi yang harus di benahi oleh pemerintah, bila ingin meyakinkan calon
investor bahwa berinvvestasi di negeri ini ada jaminan hukum. Selain masalah
perlindungan hak kekayaan intelektual,ada juuga keragu-raguan dikalangan para
investor yakni penghargaan terhadap kontrak yang sudah disepakati. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Maria Livanos Cattui, Sekertarist Jendral international
Chamber of Comerce (ICC) berikut ini:
Komitmen Indonesia untuk menghormati
kontrak bisnis masih sangat lemah. Terbukti dari beberapa kasus yang
mengemukakan seperti kasus penjualan saham semen Gresik ke Cemex dan kasus
Karaha Bodas Company (KBC). Kasus tersebut sedikit banyaknya telah mempengaruhi
minat investor asing masuk ke Indonesia. Kondisi itu diperparah lagi dengan
komittmen penegakan hukum oleh aparat kepolisian, dan bad an-badan peradilan
sangat memprihatinkan . makalah adedidikirawanpenegakan hukum masih lemah dan banyak kasus hukum
menjadi sorotan. Aparat birokrasi di indonesia juga belum mempunyai komitmen
jelas untuk menciptakan iklim yang sehat bagi praktik-praktik bisnis
perdagangan internasional. Aparat penegak hukum di Indonesia tidak mempunyai
itikad baik dallam rangka pemberantasan penyelundupan dan pembajakan marak terjadi.
Untuk membangun kepercayaan pasar diperlukan waktu yang lama dalam waktu
bertahun-tahun tetapi untuk merusak kepercayaan investor hanya di butuhkan
waktu sebentar. Oleh karena itu, setiap kontrak bisnis yang sudah
dilakukan harus dihormati oleh pemerintah dan badan peradilan sehinngga setiap
pengusaha baik domestik maupun asing diperlalkukan sama, menghentikan
keberpihakan (favourtism), dan ekonomi dengan embel-embel nasionalisme
yang menciptakan persaingan bisnis yang tidak sehat.
Jadi disini semakin tampak, betapa
pentingnya menghormati kontrak yang sudah disepakati. Seperti diketahui bahwa
kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pebisnis, pada umumnya dibuat
secara tertulis. Bahkan untuk perusahaan –perusahaan besar kontrak sudah
distandardisasi. Oleh karena itu secara teoritis, tampaknya transaksi bisnis
yang dilakkukan di antara para pelaku bisnis tersebut tidak akan menimbulkan
sengketa, karena yang mendasari terjadinya suatu transaksi bisnis adalah adanya
kesepakatan, baik mengenai obyek transaksi, harga dan syarat-syarat lainnya.
Jadi kata kkuncinya, adalah adanyya kesepakatan. Dengan adanya kesepakatan,
makamakalah adedidikirawan munculah hak dan kewajiban diantara para pihak. Dengan demikian, jika
setiap pihak memenuhi apa yang menjadi kewajibannya dan dilaksanakan dengan
penuh itikad baik, maka sengketaa bisnis tentu tidak akan pernah terjadi.
Adanya kewajiban para pihak untuk memenuhi perjanjian yang disepakati tercermin
dari Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengengemukakan :
Semua persetujuan yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alassan-alasaan
yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Persetujuan harus dilaksanakan
itikad baik.
Dari ketentuan di atas sebenarnya
sudah jelas, bahwa apa yang sudah disepakati wajib untuk dipatuhi. Hal inilah
yang dalam teori hukum kontrak disebut para pihak yang sudah sepakat harus
menghormati kesucian kontrak (the sanctity of contract). Jika demikian
halnya, agak sulit untuk membayangkan bahwa dikemudian hari akan terjadi
sengketa dalam suatu transaksi bisnis yang sudah disepakati oleh kedua belah
pihak. Namun, dalam praktik ternyata pelaksanaan kontrak yang sudah disetujui
oleh kedua belah pihak tersebut, sering kali tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Dengan kata lain, munculnya sengketa bisnis acapkali sukar pula
untuk dihindarkan, meminimalisasi kemungkinan terjadinya sengketa dengan
membuat berbagai kesepakatan awal untuk disetujui. Untuk itu, para pihak yang
terlibat dalam transaksi bisnis tersebut, sejak awal telah menyiapkan sejumlah
persyaratan dalam kontrak yang akan di tandatangani.
Oleh sebab itu, bila diperhatikan
kontrak-kontrak bisnis, makalah adedidikirawanbaik yang bersakala nasional maupun internasional, bila
salah satu pihak lalai memenuhi kewajibannya akan dikenakan sanksi baik berupa
denda dan atau bahkan pembatalan kontrak dengan segala konsekuensinya.
Munculnya sengketa bisnis dapat terjadi karena berbagai sebab. Untuk itu,
menarik disimak apa yang dikemukakan Agustinus Rachmat Widyanto, sebagai
berikut:
Kendati hukum itu penting,
namunhukum itu tidak bisa seluruhnya mengganti peran nilai dan norma moral,
karena: pertama, hukum itu tidak mengatur seluruh seluk beluk segi kehidupan,
selalu ada grey areas yang kabur, kedua, nilai dan norma moral mengubah
paksaan hukum (enforcement) menjadi pilihan sukarela pribadi (preference).
Jika motivasi prilaku itu hanyamakalah adedidikirawan dikendalikan oleh rasa takut pada hukum semata,
besar kemungkinan bahwa orang itu akan jatuh dalam perbagai godaan moral. Jika
ada kesempatan untuk melakukan penipuan dengan risiko keuntungan lebih besar
dari pada hukum, orang mungkin akan cenderung melanggar hukum demi kepentingan
pribadi. Ketiga, hukum itu sendiri sering datang terlambat, baru dirumuskan post-factum
setelah ad a kasus dan masalah besar.
Dari paparan diatas, tampak bahwa
sekalipun kontrak sudah dibuat begitu rinci, namun bila para pihak yang ada
didalamnya tidak mau memenuhi apa yang sudah menjadi kesepakatan, maka kontrak
yang telah dibuat secara sah. Yang berarti telah menjadi undang-undang bagi
pembuat kontrak, hanya sekedar kata-kata mati belaka. Akibat lebih jauh dari
tidak dipatuhinya sebuah kontrak, maka bagi pihak yang terus mematuhi kontrak
sesuai dengan kesepakatan akan merasamakalah adedidikirawan diperlakukan tidak adil(unfair).
Hal ini tentunya dapat membawa dampak yang cukup luas yakni menimbulkan
ketidakpercayaan dalam berbisnis, lebih khusus lagi calon investor akan ragu
berrinvestasi di negara yang tidak mau menghormati kontrak. Seperti yang
dikemukakan oleh Dubes Belanda Ruud Treffres yang mewakili Uni Eropa di
sela-sela Indonesia Infrastructur Summit di Jakarta baru-baru ini,
lemahnya kepastian hukum investasi di Indonesia yang membuat kepercayaan
berbisnis di negara ini lemah juga. Hanya transparansi dann sesuatu yang bisa
diprediksi yang bisa menciptakan kepercayaan investasi jangka panjang di
indonesia. Jadi yang dibutuhkan sebenarnya adalah, adanya suatu
koordinasi anatar instansi yang terkait yang menangani investasi tidak
berjalan sendiri-sendiri.
Munculnya ketidakpatuhan terhadap
kontrak yang sudah ada, bisa terjadi karena beberapa sebab : pertama, adanya
perbedaan interpretasi terhadap isi kontrak yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak. Untuk itu, pihak yang merasa interpretasi yang dia lakukan
terhadap apa apa yang dia telah sepakati adalah benar merasa tidak perlu
memenuhi kewajiban. Sedangkan pihak lain merasa, dengan tidak dipenuhinya
kewajiban merupakan pelanggaran terhadap apa yang telah disepakati (breach
of contract)Untuk itu pihak yang tidak memenuhi kewajiban harus
membayar ganti rugi. Kedua adanya perubahan terhadap kebijakan pemerintah atau
ada perubahan peraturanmakalah adedidikirawan perundang-undangan yang membawa dampak terhadap kontrak
yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Sebagai contoh kiranya dapat
dikemukakan di sini, dengan diterbitkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintah daerah, maka pemerintah daerah merasa berwenang mengatur
perusahaan asing yang ada diwilayahnya. Bahkan pemerintah daerah merasa hak-hak
yang timbul dari kontrak yang ditandatangani oleh pemerintah pusat, dengan
terbitnya Undang-Undang tersebut dianggap menjadi hak pemerintah daerah.
Padahal ketika perusahaan ini hendak melakukan kegiatannya, perizinan
dikeluarkan oleh pemerintah pusat, ketiga adanya keadaan memaksa (Force
mejure) yang mengakibatkan salah satu pihak tidak dapat lagi memenuhi
kewajibannya.
Jika demikian halnya, perlu
penyelsaian sengketa. Secara ideal adalah mencoba menegosiasikan kembali
apa yang menjadi pokok sengketa. Bila tidak ada titik temu, maka dikembalikan
kepada isi kontrak apakah ada klausul penyelsaian sengketa bila mengalami jalan
buntu. Jika diperhatikan isi kontrak-kontrak bisnis modern, maka dalam kontrak
bisnis tersebut telah dicantumkan sejumlah klausul. Salah satu diantara klausul
tersebut adalah masalah penyelsaian sengketa. makalah adedidikirawanPada umumnya dalam kontrak
tersebut dicantumkan kalusul penyelsaian sengketa, yakni melalui lembaga
arbitrase. Maksud dalam pencantuman klausula arbitrase dalam kontrak bisnis
adalah, jika terjadi sengketa, maka sejak awal para pihak telah sepakat akan
menyelsaikannya di luar lembaga peradilan, yaitu melalui lembaga arbitrase.
Adapun alasan, mengapa para pelaku bisnis memilih mencantumkan klausula
arbitrase dalam kontrak dengan pertimbangan:
1. Para pihak memilih lembaga arbitrase dengan harapan akan
memperoleh penyelsaian yang lebih baik. Selain itu, penyelsaaian lewat lembaga
arbitrase, publisitas dapat dihindari. Dengan demikian, hal-hal yang menyangkut
rahasia perusahaan tetap dapat dijaga kerahasiaannya.
2. Penyelsaian sengketa lewat lembaga arbitrase akan diputuskan
oleh ahli yang berkompeten untuk itu
3. Pihak asing pada umumnya belum mengenal sistem hukum dimana
dia akan melakukan kegiatan investasi
4. Yang diinginkan oleh para pihak adalah bahwa putusan yang
akan diberikan dapat diterima dan dijalankan secara sukarela oleh pihak yang
dikalahkan agar hubungan baik tetap dapat berjalan lancar dimasa yang
akan datang
5. Sengketa yang dihadapi oleh para pihak cukup kompleks. Dalam
hal ini, arbiter yang mempunyai keahlian dalam bidangnya, dianggap mampu untuk
menafsirkan, menyempurnakan, menyesuaikan dengan atau mengubah satu kontrak
karena telah timbul perubahan.
Dalam kkaitannya dengan investasi
timbul pemikiranmakalah adedidikirawan di kalangan para ahli hukum yakni tentang permohonan penanaman
modal yang dilakukan oleh investor asing. Apakah permohonan(aplikasi) tersebut
dapat dianggap sebagai kontrak. Formulir permohonan penanaman modal yang
dikenal dengan model I/PMA telah disediakan oleh pemerintah, dalam hal ini
BKPM. Para ahli hukum umumnya berpendapat, bahwa dengan adanya persetujuan dari
pemerintah, maka terjadilah kontrak antar pemerintah dengan investor asing.
Seperti: yang dikemukakan oleh D.Sidik Suraputra, dengan adanya keputusan
presiden republik indonesia yang menyetujuui aplikasi atau proyek proposal dari
investor asing, maka dengan adanya keputusan presiden tersebut dianggap lahir
kontrak. Pendapat senada dikemukakan oleh Sudargo Gautama, dengan adanya
persetujuan permohonan penanaman modal oleh negara tuan rumah (host
state), berarti negara tersebut tanpa ragu-ragu menyatakan bertemunya suatu
kehendak untuk sepakat (meeting of minds and of wills) dengan maksud
untuk menghasilkan akibat-akibat hukum dalaam bidang ekonomi tertentu. Dengan
demikian dalam hal ini dipakai konsep kontrak yang lebih luas. Artinya
permohonan penanaman modal dan persetujuan dapat dilihat sebagai menghasilkan
kontrak.
3. Penyelsaian sengketa penanaman
modal
Satu hal yang sering menjadi
pertimbangan calon investor, jika ia ingin menanamkan modalnya diluar negeri
adalah eksistensi lembaga penyelsaian sengketa antara investor dengan negara
tuan rumah. Sebenarnyansecara konvensional di negara maupunmakalah adedidikirawan didunia ini telah
tersedia lembaga penyelsaian sengketa yakni lembaga yudikatif. Hanya saja,
jikanpenyelsaian sengketa antra investor dengan tuan rumah diselsaikan lewat
lembaga peradilan ada keraguan dikalangan calon investor asing. Dengan kata lain
tingkat obyektifitas lembaga penyelsaian sengketa tersebut diragukan. Secara
teoritis memang keberadaan lembaga yudikatif (lembaga peradilan) adalah
independen. Artinya, lembaga ini tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga lainnya
(eksekutif dan legislatif ) namun secara psikologis, dalam penyelsaian sengketa
antara investor asing dengan negara penerima modal asing (host staste), tentu
faktor subyektifitas lembaga peradilan atau tepatnya hakim akan sulit
untuk dihindari, mengingat ia (hakim) adalah warga negara dari negara tuan
ruma. Oleh karena itu, adalah wajar jika investor asing ingin mengetahui lebih
awal apakah dimungkinkan penyelsaian sengketa di luar lembaga peradilan (outside
of the court).
Berkaitan dengan adanya pilihan
penyelsaian sengketa menarik untuk disimak apa yangdikemukakan oleh Tineke
Lousie Tuegeh Longdong:
Pertimbangan utama bagi investor
untuk melakukan investasi adalah adanya jaminan hukum yang memadai,
mennyediakan cara penyelsaian sengketa melalui arbitrase luar negeri terhadap
kerugian-kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari penanaman modal.
Investor dan pedagang asing selalu berupaya untuk melepaskan diri dari
peradilan negara berkembang karena merasa tidak mengenal hukum setempat yang
berlainan dengan sistem hukum negaranya sendiri. Selain itu ada keragu-raguan
bahwa peradilan setempat akan bersikap tidak obyektif. Alasan lain adalah,
apakah lembaga peradilam negara berkembang ada kemampuan dalam memeriksa
sengketa perdagangan internasional dan alih teknologi yang demikian rumit.
Hal senada, juga dikemukakan oleh
Gray Goodpaster dkk,makalah adedidikirawan ada berbagai alasan untuk memilih lembaga arbitrase
sebagai tempat penyelsaian sengketa yakni:
Dalam dunia perdagangan
internasional, kecenderungan yang terlibat adalah liberalisasi peraturan/undang-undang
arbitrase untuk lebih mendorong penggunaan arbitrase dari pada penyelsaian
sengketa dagang melalui badan peradilan umum. Pada umumnya undang-undang ini
dirancang untuk memberikkan otonomii, kebebasan dan fleksibilitas secara
maksimmal dalam menyelsaikan sengketa. Hal ini dilakukan dengan memberikan
kewenangan kepada para pihak untuk menunjuk hukum atau prinsip-prinsip yang
adil yang dapat diterapkan terhadap sengketa yang terjadi di antara mereka dan
juga memberikan kewenangan kepada mereka untuk memilih para arbiter, sekaligus
makalah adedidikirawanaturan-aturan prosedural yang dapat diterapkan dalam arbitrase. Hal ini berarti
bahwa para pihak tidak perlu menerapkan hukum setempat/ domestik terhadap
sengketa yang sedang mereka hadapi.
Dari uraian diatas tampak bahwa ada
kecenderungan para investor memilih penyelsaian sengketa penanaman modal diluar
pengadilan.di indonesia sendiri masalah penyelsaian sengketa penanaman modal
secara tegas telah dijabarkan dalam Undang-Undang Pasar Modal. makalah adedidikirawanJika
diperhatikan secara saksama dalam Undang-Undang Pasar Modal Tahun 2007, tampak
bahwa Pemerintah Republik Indonesia memberikan ruang untuk penyelsaian sengketa
investasi antara investor dengan Pemerintah Republikk Indonesia melalui lembaga
arbitrase hal ini dijabarkan dalam Pasal 32 Undang-Undang Pasar Modal, sebagai
berikut:
1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara
pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelsaikan
sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat .
2) Dalam hal penyelsaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, penyelsaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase
atau alternatif penyelsaian sengketa atau pengadilan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan
3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara
pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelsaikan
sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkann kesepakatan para pihak dan
jika penyelsaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelsaian
sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan
4) Dalam hal sengketa di bidang penanaman modal antara
pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelsaikan sengketa
tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak
Hanya saja dalam Undang-Undang
Penanaman Modal tersebutmakalah adedidikirawan tidak disebutkan lembaga arbitrase yang mana dan
dimana. Sebagaimana diketahui, dalam tataran hukum internasional ada sejumlah
perjanjian internasional yang menyangkut masalah investasi. Seperti yang
dikemukakan oleh Barita Saragih:
“dari segi hukum internasional,
sebenarnya sudah ada beberapa perjanjian internasional atau treaty (
baik multilateral maupun bilateral) yang mengatur dan melindungi investasi dan
risiko. Risiko investasi (termasuk risiko politik) yang lazim dijumpai antara
lain penga rmbilalihan oleh negara/pemerintah atas aset atau property
dan hak atas kekayaan miilik swasta asing (dikenal dengan istilah
nasionalisasi) renegosiasi paksa atas kontrak investasi yang telah disetujui (coerced
renegottiation), larangan repatriasi atas income dan revenue dari hasiil
investasi ke negara asal , aktivitas-aktivitasmakalah adedidikirawan sipil yang meroongrong jalannya
atau beroperasinya investasi asing danlain-lain. Pelanggaran-pelanggaran dari
perjanjian atau traktat internasional maupun pelanggaran dari kontrak
iinvestasi oleh suatu pemerintah atau negara dapat menyeret pemerintah atau
suatu negara karena adanyya legal action atau claim ke badan
arbitrase inter nasional atau kebadan peradilan internasional seperti the
international court of justice.
Untuk memperkuat keberadaan lembaga
arbitrasemakalah adedidikirawan sebagai alternatif penyelsaian sengketa khususnya di dalam penanaman
modal, pemerintah indonesia telah meratifakasi convention on the
sttelement of investement disputes between states and nationals of other states
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968. Konvensi ini dikenal juga dengan
nama konvensi whosingthon. Konvensi ini di prakrasai Bank Dunia (world bank)
pada tahun 1965. Konvensi ini dibuat untuk merangsang masuknya modal asing pada
negara-negara berkembang. Sebagai tindak makalah adedidikirawanlanjut dari konvensi ini, maka
dibentuk lembaga penyelsaian sengketa antara penanam modal (investor)
dengan negara penerima modal (host country) yang lebih dikenal denngan the
iinternational center for the settlement of investment disputes (ICSID).
Untuk selanjjutnya dlam konvensi ini disebut sebagai pusat (centre)
sedangkan tujuan dibentuknya ICSID adalah untuk menyediakan fasilitas
konsuliasi dan arbitrase sengketa investasi antar negara peserta konvensi
dengan warga negara dari negara peserta konvensi lainnya berdasarkan ketentuan
konvensi. Agar ICSID dapat berlaku, para pihak harus sepakat untuk mengajukan
sengketa mereka ke dewan arbitrase ICSID, sengketa haruslah antara peserta
konvensi atau agen/organisasi-organisasi negara tersebut dan warga negara dari
negara peserta konvensi lainnnya, dan sengketa berkaaitan dengan masalah
investasi . dalam konvensi tersebut makalah adedidikirawandiatur masallah penyelsaian sengketa antar
a investor asing dengan negara penerima modal dilakukan lewat lembaga
arbitrase. Dalam pasal 1 dijelaskan,, menyetujui konvensi tentang penyelsaian
perselisihan antara negara dan warga negara asing mengenai penanaman
modal (convention on the settlement of investment disputes between states
and national of other states) yang salinannya dilampirkan pada
undang-undang ini
Yang menarik disini adalah sekalipun
pemerintah republik indonesia telah meratifikasi konvensi ICSID, tidak berarti
secara otomatis setiap sengketa antara investor asing dengan pemerintah
republik indonesia harus diselsaikan oleh dewan arbitrase ICSID. Hal ini
dijabarkan dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 :
Pemerintah mempunyai wewenang untuk
memberikan persetujuan bahwa sesuatu perselisihan tentang penanaman modal
antara republik indonesia dan wargga negara asing diputuskan menurut konvensi
dan untuk mewakili Republik Indonesia dalam perselisihan tersebut dengan hak
substansi.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal
ini dikemukakan :
Menurut pasal 25vayat (1) dan 36
ayat (2) konvensi, setiap perselisihan harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari kedua belah pihak yang berselisih, sebelum dapat diajjukan di
depan mahkamah arbitrase (arbital tribunal). Dengan pasal ini di pastikan bahwa
pemerintahmakalah adedidikirawan mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan itu serta untuk
mewakili republik indonesia dalam perselisihan tersebut dengan hak subtitusi di
mana perlu.
Berdasarkan ketentuan diatas,
pemerintah indonesia tidak berkewajiban membawa setiap sengketa penanaman modal
dengan investor asing kedewan arbitrase ICSID, kecuali kalau disetujui oleh
kedua belah pihak. Hal ini sejalan dengan kewenangan ICSID sebagaimana yang
dijabarkan dalam Pasal 25 sebagai berikut:
The jurisdiction of the cntre shall
extend to any legal dispute arising directly out of an investment between
a contracting state (or any constituent subdivision ar agency of
contracting state desiganted to the centre by the state ) and a national of
another contracting state, which the parties to the dispute consent in writinng
to submit to the centre. When the parties have given their consent, no party
may withdraw its consent unilaterally.
Dari ketentuan di atas dapat
diketahui bahwa yuridiksi dewan arbitrase ICSID ditentukan tiga unsur utama
yakni: pertama, sengkketa harus merupakan sengketa yang muncul secara langsung (arising
directly) dari penanaman modal, kedua, pihak yang bersengketamakalah adedidikirawan haruuslah
negara yang telah menjadi anggota ICSID dan warga negara, ketiga, harus ada
pernyyataan tertulis, kesepakatan dari kedua belah pihak yang bersengketa,
mengenai penyerahan penyelsaian sengketa kepada ICSID. Dengan kata lain,
perselisihan yang dapat dibawa ke dewan arbitrase ICSID hanyalah sengketa yang
menyangkut perselisihan hukum (legal dispute) yang menyangkut penanaman
modal.
Selanjutnya dalam Pasal 3 dijelaskan
:
(1) Untuk
melaksanakan putusan mahkamah arbitrase sebagaimana dimaksud dalam konvensi
tersebut mengenai perselisihan antara republik indonesia danmakalah adedidikirawan warganegara asing
diwilayah indonesia, diperlukan surat pernyataan mahkamah agung bahwa putusan
tersebut dapat dilaksanakan
(2) Mahkamah
agung mengirimkan surat pernyataan termaksud dalam ayat (1) Pasal ini kepada
pengadilan negeri dalam daerah hukum mana putusan itu harus dijalankan dan
memerintahkan untuk melaksanakannya
(3) Surat
pernyataan dan perintah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini disampaikan
kepada pengadiilan negeri yang bersangkutan melalui pengadilan tinggi yang
daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri tersebut.
Konvensi lain yang berkaitan dengan
lembaga arbitrase, yang sudah di ratifikasi oleh pemerintah indonesia adalah
konvensi mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing (conventiion
on the recognition and enforcment of foreign arbitral awards) dari nama
konvensinya sudah jelas “pengakuan putusan arbitrase asing” artinya para pihak
yangmakalah adedidikirawan bersengketa di mana salah satu pihaknya adalah pebisnis yang berasal dari
indonesia, mereka bersepakat untuk menyelsaikan sengketa mereka lewat lembaga
arbitrase asing. Konsekuensinya adalah para pihak harus mengakui dan dengan
sukarela mauu menjalankan putusan tersebut. Konvensi ini dikenal juga dengan
koonvensi new york 1958 (the new york convention 1958). Konvensi ini
diratifikasi oleh pemerintah indonesia berdasarkkan keputusan presiden RI Nomor
34 Tahun 1981. makalah adedidikirawanDalam pasal III konvensi new york 1958 disebbutkan, tiap negara
peserta dari konvensi ini akan mengakui keputusan arbitrase luar negeri dan menganggapnya
sebagai mengikat serta melaksanakan keputusan arbitrase itu sesuai dengan
ketentuan-ketentuan huukum acara yang berlaku diwilayah dimana keputusan itu
diminta untuk dilaksankan.
Secara teoritis, dengan
diratifikasinya konvensi newyork 1958 tersebut oleh pemerintah indonesia, maka
konvensi tersebut menjadi hukum nasional. Hal ini berarti putusan arbitrase
asing tersebut belum sepenuhnya berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini
tampak dari pandangan lemabaga peradilan di indonesia dalam menyikapi putusan
arbitrase yang akan diijalankan di negeri ini tidak konsisten, alasan yang
digunakan untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing bertentang an
dengan kepentingan umum (public policy).
Tampaknya pemerinntah menyadari
bahwa perkembangan dunia bisnis berkembangg demikian pesat , sehingga
penyelsaian sengketa bisnis pun dituntut secara cepat. Untuk itu, dibutuhkan
lembaga pennyelsaian sengketa diluar lemabaga peradilan yang dapatmakalah adedidikirawan dijadikan
alternatif untuk menyelsaikan sengketa yang dihadapi para pelaku bisnis.
Diberbagai negara, pilihan penyelsaian sengketa bisnis diluar lembaga peradilan
sudah lama diakui antara lain lewat lemabaga arbitrase. Untuk itu, dalam rangka
mmemperkuat keberadaan lembaga arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelsaian
sengketa di indonesia semakin kuat legimitasinya dengan diterbitkannya
undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelsaian
sengketa makalah adedidikirawan(UUAAPS) . dengan diterbitkannya undang-undang ini, maka keraguan
terhadap pelaksanaan putusan llemabaga arbitrase khususnya putusan arbitrase
internasional, sedikit banyak dapat diminimalisasi, artinya bila ada putusan
arbitrase asing yang pelaksanaannya di indonesia, asal memenuhi syarat dapat
dilaksanakan di indonesia, adapun persyaratan yang harus dipenuuhi, jika ingin
melaksannkan putusan arbitrase asing di indonesia dijabarkan dalam pasal 66
Undang-Undang Nomor 30 Tahhun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelsaian
sengketa (UUAAPS).
Putusan arbitrase internasional
hanya diakui serta dapat dilaksanakan diwilayah hukum republik indonesia,
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Putusan arbitrase internasiional dijatuhkan oleh arbiter
atau majelis arbitrase disuatu negara yang dengan negara indonesia terikat pada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multillateral, mengenai pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional
b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum indonesia termasuk
dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a hanya dapat dilaksanakan di iindonesia terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum
d. Putusan arbitrase internasional dapatmakalah adedidikirawan dilaksanakan di
indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari ketua pengadilan negeri jakarta
pusat dan
e. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a yang menyangkut negara republik indonesia sebagai salah satu pihak
dalam sengketa, hanya dapat diilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari
mahkamah agung repuublik indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada
pengadilan negeri jakarta pusat